NewsLine

Selamat datang di blog GiastaGinting... Semoga blog ini bermanfaat bagi anda.

Kamis, 07 November 2013

Wacana Yang Membedakan Pemanfaatan Bahasa Indonesia Pada Tataran Ilmiah, Semi Ilmiah, dan Non Ilmiah

Wacana Yang Membedakan Pemanfaatan Bahasa Indonesia Pada Tataran Ilmiah, Semi Ilmiah, dan Non Ilmiah


Wacana Ilmiah
Wacana Ilmiah adalah tulisan yang berisi argumentasi penalaran keilmuan, yang dikomunikasikan lewat bahasa tulis    yang formal dengan sistematis-metodis dan sintesis-analitis.
Dalam tataran ilmiah, bahasa Indonesia sangat wajib diperlukan terutama dalam penulisan karya ilmiah, sehingga bahasa yang baik dan benar sangat diperlukan agar pemahaman bahasa dalam satu paragraph ke paragraph lainnya dapat dimengerti.
Bahasa indonesia yang baik seharusnya sudah di tanamkan sejak dini, agar anak-anak dapat berbahasa dengan baik dan sopan. Sekarang ini kebanyakan bahasa telah mulai dipersalahgunakan oleh banyak orang, yang menggunakan bahasa tersebut tidak pada tempatnya sehingga menimbulkan kerancuan dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, sebaiknya sejak dini kita harus membiasakan diri menggunakan bahasa yang baik dan benar sehingga pemanfaatan bahasa dapat di rasakan dengan baik oleh semua pihak.
Contoh penggunaan bahasa dalam tataran ilmiah
Makalah Ringkas
PERILAKU EMPAT KATA PENUNJUK ARAH DALAM BAHASA BALI
I Dewa Putu Wijana | Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

1. Pendahuluan
Dari berbagai bahasa, bahasa Bali mungkin merupakan salah satu bahasa yang memiliki kata penunjuk arah (mata angin) yang memiliki perilaku yang unik bila dilihat secara linguistis, khususnya dari aspek morfologis dan sintaktis. Hanya kata-kata penunjuk arah inilah yang bisa dikenai proses morfologis dan sintaktis tertentu, dan proses itu tidak pernah atau jarang sekali dapat dikenakan pada kata-kata yang lain. Tulisan singkat ini akan mendeskripsikan keunikan-keunikan itu, dan berusaha mencari penjelasan mengapa keunikan itu bisa terjadi. Dalam bahasa Bali, empat kata penunjuk arah yang utama diungkapkan dengan satuan lingual kangin timur , kauh barat , kaja selatan , dan kelod utara . Secara etimologis kata kelod berasal dari ke laut lewat proses persandian (au>O) dan korespondensi /t/ dan /d/ dan pengubahan fungsi preposisi ke menjadi suku awal . Hilangnya sifat kontras antara /t/ dan /d/dalam hal ini disebut dengan netralisasi (Martinet, 1987, 85; Verhaar, 1996, 85). Oleh karenanya, tidak mengherankan bila orang orang Bali menyebut tempat yang mengarah atau menuju ke laut dengan kelod walaupun secara geografis tempat-tempat itu berada di barat, selatan, atau timur. Orang Bali sering mengatakan Engken pasihe ento kelode Mana lautnya di sanalah kelod . Kata lod dalam hal ini agaknya secara diakronis berkorespondensi dengan kata lor dalam bahasa Jawa yang bermakna utara hanya saja kemudian terjadi perubahan dalam bahasa Bali menjadi tempat yang menuju ke laut . Dengan kontrusksi itu kata-kata penunjuk arah merupakan kata-kata yang sangat tinggi frekuensi pemakaiannya karena begitu dekat hubungannya dengan kehidupan orang Bali. Misalnya dalam dikotomi budaya Bali kaja adalah gunung sebagai pusat kemakmuran dan kesuburan. Kelod adalah tempat yang menuju laut. Kangin adalah tempat matahari terbit, dan kauh adalah tempat matahari tenggelam. Dekatnya hubungan arah dan kehidupan manusia inilah yang menyebabkan kata-kata ini memiliki perlakuan linguistik tertentu di dalam pemakiannya. Hal ini agaknya belum pernah mendapatkan perhatian dari ahli-ahli bahasa yang bergelut dengan bahasa Bali. Dalam tulisan ini ditemukan dua buah proses linguistik yang khas dialami oleh kata-kata penunjuk arah ini, yakni kontraksi preposisi di dan pembubuhan afiks be- yang secara berturut-turut diuraikan dalam 2 dan 3.

2. Kontraksi preposisi di
Perubahan bunyi yang terjadi di dalam bahasa tidak hanya terjadi dalam tataran Leksikon, tetapi mungkin pula ditemukan dalam tataran yang lebih tinggi, seperti frasa dan kalimat (Pastika, 2004a, 1; 2004b, 52). Kontraksi di yang melekat pada kata-kata penunjuk arah yang akan dibicarakan berikut ini pada hakikatnya merupakan perubahan bunyi pada tataran frase. Kontraksi adalah proses peringkasan leksem dasar atau gabungan leksem, seperti tidak menjadi tak, tidak ada menjadi tiada, dsb. (Kridalaksana 1993, 121). Definisi ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Crystal (1978, 89) yang mengemukakan bahwa kontraksi adalah:
The process or result of phonologically reducing a linguistic form so that it comes to be attached to an adjacent linguistic form or fusing a sequence of forms so that they appear as a single form.
Dengan terjadinya kontraksi secara diakronis maka semua kata-kata penunjuk arah angin dalam bahasa Bali berawal dengan bunyi /k/, yakni kangin, kauh, kaja, dan kelod. Kata kaja, kelod, kangin, dan kauh adalah nomina yang bila digunakan untuk menunjuk tempat tertentu harus mengambil bentuk yang lain, yakni dangin, dauh, daja, dan delod. Bila tidak maka kata kangin hanya dapat digunakan sebagai nomina biasa, seperti dalam ungkapan Tusing nawang kaja kelod tidak tahu selatan dan utara atau Tusing nawang kangin kauh Tidak tahu timur dan barat . Adapun kalau arah itu menunjuk tempat akan digunakan seperti berikut ini:

1.    Dajan rurung-e ada anak ng-adep kembungan
Di selatan jalan-nya kl ada orang jual trans balon
Di selatan jalan ada orang yang menjual balon2

2.    I Belog ulung di delod pangkung-e
Art. Belog ND jatuh di utara jurang kl
I Belog jatuh di sebelah utara jurang

3.    Dauh tukade tusing ada yeh.
Utara sungai tidak ada air
Di utara sungai tidak ada air

4.    Dangin tiange umah-ne.
Timur saya kl rumah pos.
Di sebelah timur rumah saya rumahnya

3. Prefiksasi be-
Dalam buku-buku tata bahasa bahasa Bali agaknya jarang sekali atau mungkin tidak ada yang membicarakan afisk be-. Dengan kata lain afiks-afiks ini dianggap tidak ada dalam bahasa Bali. Akan tetapi, secara sinkronis jelas sekali bahwa di dalam bahasa Bali ada kata-kata bedauh jauh di barat , bedelod jauh di utara , bedaja jauh di selatan , bedangin jauh di timur . Dengan demikian, dicurigai ada proses morfologis seperti di bawah ini:
be- + dauh > bedauh
be- + delod > bedelod
be- + daja > bedaja
be- + dangin > bedangin
Adapun pemakaiannya dapat dilihat dalam (14), (15), (16), dan (17) di bawah ini:

5.    + Dija ada balih-balihan?
Di mana KT ada tontonan
Di mana ada tontonan?
- Ditu bedaja.
Di sana di selatan
Di sana di selatan

6.    Bedangin tusing ada apa-apa.
di timur tidak Neg ada apa-apa
Di timur tidak ada apa-apa

7.    Ada apa bedauh?
ada apa KT di barat
Ada apa di barat?

8.    Umah-ne bedelod, tusing dini.
Rumah-nya pos di utara, bukan Neg. di sini
Rumahnya di utara, bukan di sini
Afiks be- yang melekat pada keempat kata penunjuk arah itu bermakna gramatikal tempat yang jauh dari pembicara.Bila orang Bali ingin menunjuk
tempat yang dipandang tidak terlalu jauh, maka ia akan menggunakan klitika ne.
Kata-kata penunjuk arah yang berklitika ne ini dapat didahului dengan kata dini
di sini .

9.    + Lakar kija, Beli?
mau ke mana KT, Kakak
Mau pergi ke mana, kakak?
- Dini, dauh-ne jep.
di sini di barat Kl sebentar
Di sini di barat sebentar

4. Catatan Penutup
Proses linguistik apapun jenisnya yang terdapat di dalam bahasa bahasa ternyata tidak terjadi pada sembarang bentuk kebahasaan, dan dapat dikenakan secara analogis pada bentuk-bentuk serupa yang lain. Untuk ini diperlukan syarat yang lain, yakni bentuk itu lazimnya memiliki ciri tertentu dan mempunyai frekuensi pemakaian yang sangat tinggi, bahkan mungkin secara kultural begitu dekat atau penting hubungannya dengan kehidupan masyarakatnya.
Untuk mencapai penjelasan yang memuaskan analisis sinkronis pada saat-saat tertentu membutuhkan penjelasan yang bersifat diakronis. Hal ini agaknya berkaitan dengan prinsip uniformasi yang dikemukakan oleh Bell (1976, 187-191; periksa juga Wardaugh, 1988, 18) yang mengemukakan bahwa:
The linguistic process which we observe to be taking place around us are the same as those which have operated in the past, so that there can be no clean break between synchronic matters and diachronic ones.
Dalam hubungannya dengan kontraksi di dalam bahasa Bali semakin jelas bahwa batas-batas tataran linguistik, leksikon, fonologi, morfologi, dan sintaksis semakin tidak jelas (kabur). Di dalam bahasa terdapat morfem-morfem yang bergabung dengan satu satuan tertentu saja yang disebut dengan morfem unik (Ramlan, 1987, 82), ada morfem yang dapat bergabung dengan berbagai jenis morfem, dan dalam kaitannya dengan afiks be- dalam bahasa Bali, morfem ini hanya bergabung dengan morfem dasar penunjuk arah yang bila konsep keunikan ini diperluas, yakni dapat pula diterapkan untuk morfem terikat, maka be- dalam bahasa bali disebut sebagai morfem semiunik.

Wacana Semi Ilmiah
Wacana semi-ilmiah adalah tulisan yang berisi informasi faktual, yang diungkapkan dengan bahasa semiformal, tetapi tidak sepenuhnya mengikuti metode ilmiah yang sintesis-analitis karena sering “dibumbui” dengan opini pengarang yang kadang-kadang subjektif.
Contoh bahasa dalam tataran semi ilmiah
KabarIndonesia – Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, melaui dinas pekerjaan umumnya (DPU) terus mempermulus jalan-jalan trans propinsi yang ada dikabupaten Tanah Bumbu itu. Pekerjaan yang dilaksanakan oleh PT. Adhi Karya tersebut, sangat terasa manfaatnya oleh masyarakat.
“Khususnya para pengguna jalan trans provinsi, baik yang dari Banjarmasin menuju Batulicin dan Kotabaru,” kata Fadli MHM, yang kesaharian sebagai pengemudi angkutan penumpang Banjarmasin – Batulicin PP.
“Dulu, sebelum jalan ini diperbaiki, dari Batulicin menuju Banjarmasin bisa memakan waktu hingga 7 jam perjalanan. Tetapi sekarang bisa ditempuh cukup dengan 5 jam saja,” ujar Fadli.

Wacana Non Ilmiah
Non Ilmiah (Fiksi) adalah satu ciri yang pasti ada dalam tulisan fiksi adalah isinya yang berupa kisah rekaan. Kisah rekaan itu dalam praktik penulisannya juga tidak boleh dibuat sembarangan, unsur-unsur seperti penokohan, plot, konflik, klimaks, setting dsb.
Contoh penggunaan bahasa dalam tataran non-ilmiah
AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Me