Bunuh diri yang dilakukan oleh anak dan remaja, dikhawatirkan berkembang menjadi perilaku yang fenomenal. Penelitian ini ingin menemukan bagaimana peran keluarga dalam kasus-kasus bunuh diri anak dan remaja yang selama ini terjadi. Ini akan bermanfaat dalam menjelaskan tantang salah satu faktor penting keluarga dalam pembentukan perilaku anak dan remaja. Penelitian kualitatif dipilih dalam penelitian ini, karena memungkinkan untuk menemukan hal-hal yang tidak terduga. Observasi dan wawancara kepada orang-orang yang mengenal pelaku menjadi alat pengumpul data utama. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara terarah memperhitungkan latar belakang subjek. Terpilihlah tiga subjek yang memiliki latar belakang berbeda. Hasil penelitian ini menunjukkan sangat kuatnya peran keluarga dalam kasus-kasus bunuh diri anak dan remaja. Kondisi keluarga yang buruk menjadi bagian pendidikan masa kecil pelaku.Setidaknya pada penghujung tahun 2005 ada tiga kasus bunuh diri anak yang terjadi secara beruntun dalam kurun waktu satu bulan. Triiyono, siswa sebuah SMP kelas III di Kulon Progo, bunuh diri pada 22 November 2005 (Kedaulatan Rakyat,23 Desember). Disusul kemudian pada bulan Desember Awang Aditiya, siswa kelas IV SD di Kabupaten Gunung Kidul. Kurang dari satu minggu kemudian, masih di bulan Desember 2005, Syaiful Bahri, siswa SD kelas V di Kabupaten Demak. Pada 5 Juli 2005, seorang siswa kelas III SD di di kabupaten Bantul, juga melakukan bunuh diri (Kedaulatan Rakyat, 6 Juli).
Bunuh diri pada remaja terjadi lagi menyusul contoh-contoh di atas, dalam waktu satu beberapa bulan terakhir tahun 2007 ini. Sebagai contoh, kasus bunuh diri siswa kelas 8 sebuah SMP di daerah Gunung Kidul (Radar Jogja, 24 Juni), dan kasus bunuh diri oleh siswa kelas 8 SMP di Boyolali (Radar Solo,26 Juni). Fenomena tersebut menunjukkan betapa sangat memprihatinkannya kasus ini, sehingga memerlukan penanganan yang bersungguh-sungguh, terutama upaya untuk mencegahnya. Penggambaran yang jelas bagaimana bunuh diri itu terjadi dan fakor-faktor yang ada di sekitar subjek, setidaknya akan memberi arah terhadap upaya-upaya yang tepat untuk mencegah terjadinya kasus serupa pada masa yang akan datang. Penelitian yang mendalam dari beberapa kasus bunuh diri, memungkinkan untuk menemukan kecenderungan-kecenderungan tertentu dari kasus bunuh diri. Kemudian pada akhirnya dapat ditemukan akar masalah yang sebenarnya dari sebab seseorang melakukan bunuh diri. Jika hanya dilihat dari surat yang ditinggalkan pelaku bunuh diri, atau persoalan yang memicu mereka melakukan bunuh diri, akan kelihatan sepele dan tidak masuk akal. Apa mungkin hanya karena uang ekstrakurikauler, seorang anak bunuh diri. Analisis yang mendalam, berarti tidak hanya melihat apa yang nampak bagi orang lain. Setidaknya tidak berhenti sampai di permukaan saja. Kajian-kajian yang selama ini ada, menyangkut sebab bunuh diri, tertuju pada adanya keputusasaan, kesedihan yang mendalam, atau secara lebih umum disebut depresi. Semua sebab tersebut mengarah pada kondisi psikologis pelaku bunuh diri, yakni mengurai secara subjektif faktor-faktor disposisional. Biasanya kemudian mengerucut pada sebab yang khusus yakni klinis dan sangat kasuistik. Maris (Kendall dan Hemman, 1998) mengemukakan beberapa faktor risiko bunuh diri berasal dari kondisi keluarga yang tidak baik. Terlebih, jika bunuh diri dilakukan oleh anak dan remaja. Kondisi psikologis anak dan remaja banyak tergantung pada kondisi keluarga yang memberikan pola pendidikan anak sejak masih kecil. Kondisi keluarga yang bagaimanakah yang ada dalam kasus bunuh diri yang pelakunya adalah anak dan remaja ?
Kajian Teori Secara umum seseorang dapat melakukan perbuatan nekat, karena takut, cemas atau sedih. Takut, cemas, atau sedih merupakan satu golongan: emosi negatif. Semuanya menjadi beban dan tidak menyenangkan bagi yang mengalaminya. Oleh karena itu orang dengan mudah merubahnya (takut menjadi depresi, cemas menjadi menjadi sedih) untuk mempertahan diri. Semua kondisi negatif itu merupakan tanda bahaya, adanya ancaman. Kondisi negatif terutama takut dan cemas, membuat orang yang mengalaminya menjadi sadar adanya tantangan bagi dirinya, sehingga kemudian mengembangkan kewaspadaan dan bersiap untuk bereaksi. Takut lebih kepada tantangan fisik, sedangkan cemas lebih kepada tantangan psikologis (Albin, 1987). Takut dan cemas memotivasi munculnya reaksi aktif untuk melawan atau lari. Takut dan cemas memunculkan upaya untuk mengintegrasikan diri menghadapi sumber-sumber ketakutan dan kecemasan. Jika persiapan ini tidak cukup, maka orang akan mencoba menghadapi dengan cara lain. Manifestasinya dapat berupa reaksi fisik, seperti sakit fisik, atau perilaku-perilaku aktif, seperti kesibukan atau keasikan tertentu, untuk mengurangi kecemasan dan katakutan itu. Aktivitas-aktivitas seperti merokok, “ngemil”, minum alkohol, merupakan perwujudan dari takut dan cemas tersebut.
Jika upaya tersebut belum dirasa berhasil, maka orang kemudian menyerah dan putus asa. Di sinilah orang mulai merubah kecemasan dan ketakutan menjadi depresi. Sesungguhnya depresi merupakan kondisi lebih menyeluruh dibandingkan dengan sekedar sedih dan kemurungan, tetapi juga menyangkut gangguan dalam berfikir dan sikap terhadap diri dan lingkungan (Albin, 1987). Oleh karena itu, depresi dianggap sebagai sebab bunuh diri yang paling dapat diterima dibandingkan dengan takut atau kecemasan. Depresi merupakan upaya subjektif terakhir yang dapat dilakukan oleh seseorang setelah ketakutan dan kecemasan. Depresi sering diartikan sebagai suatu gangguan psikis yang mempengaruhi fungsi-fungsi fisik, psikologis dan sosial dari seseorang (Culbertson, 1997). Oleh karena itu, Beck (1987) berpendapat bahwa depresi merupakan gangguan pikiran dari pada gangguan perasaan. Ini berbeda dengan ketakutan dan kecemasan yang lebih kepada masalah emosional. Ketika orang mengalami depresi, tidak lagi terasa adanya rasa takut dan cemas. Depresi dengan demikian dipakai sebagai cara menghadapi ketakutan dan kecemasan. Orang tidak mungkin cemas atau takut, ketika dia depresi. Begitu sebaliknya, orang tidak mungkin depresi, ketika ia takut dan cemas.
Pada kondisi yang normal, orang lebih berani secara rasional mengatakan dirinya depresi, daripada mengatakan dirinya bahagia (Baron dan Byrne, 1994). Seseorang merasa sudah aman dan enak, dalam kondisi depresi. Dengan sedikit pemicu sosial, misalnya kesendirian, orang mudah jatuh dalam kondisi depresi (Baron dan Byrne, 1994). Sehingga secara sosial pun, sebenarnya depresi lebih bisa dipakai sebagai penutup dari pengamatan orang lain sehingga sulit diketahui oleh orang lain di sekitarnya. Orang bisa lebih sembunyi dari pantauan orang lain. Kebanyakan, kalau tidak bisa disebut semuanya, pelaku bunuh diri tidak menyampaikan rencana bunuh diri kepada orang lain. Depresi lebih cenderung dalam perilaku tertutup, diam dan pasif. Orang depresi cenderung menutup diri dari lingkungan sosialnya. Orang-orang yang depresi memiliki kesulitan dalam hubungan sosial, berkomunikasi dengan orang lain, karena mereka memiliki pikiran-pikiran negatif terhadap orang lain (Blumberg dan Hokanson,1983). Inilah penyebab tindakan bunuh diri itu sulit diduga sebelumnya, sekalipun oleh orang-orang dekatnya. Hubungan sosialnya merasa terputus, termasuk orang-orang dekat sahabat atau keluarganya. Orang yang depresi seringan apapun, akan merasa tidak berdaya menghadapi tekanan lingkungan (eksternal). Dunia dan kehidupan ini semuanya bagaikan ancaman yang tidak bisa dihadapi, bagi orang yang depresi. Orang yang mengalami depresi akan berkeyakinan bahwa sudah tidak ada jalan bagi dirinya untuk dapat mengatasi masalah yang dihadapinya. Keluarga dan orang-orang dekat menjadi tumpuan utama bagi penyelesaian. Apalagi jika terjadi pada anak dan remaja yang sedang mengalami perkembangan fisik dan kognitif.
Kemasakan fisik dan kognitif pada anak dan remaja, akan memicu terjadinya perkembangan pada aspek-aspek lain. Hal Ini membutuhkan kesempatan dalam hubungan sosial. Oleh karena itu problem yang dihadapi oleh mereka adalah pengujian diri dalam interaksi dengan lingkungan sosial. Sebuah proses untuk penegasan diri atas kedewasaanya dalam kancah lingkungan sosialnya. Munculnya masalah yang dihadapi oleh remaja bisa dipastikan oleh sebab-sebab yang bersifat eksternal, yaitu lingkungan sosialnya. Bunuh diri misalnya, selalu ditimbulkan oleh kondisi ekstrim lingkungan hidup remaja pelaku bunuh diri (Clarke-Stewart, and Koch, 1983). Selanjutnya Clarke-Stewart dan Koch (1983) mengidentifikasi bahwa kasus bunuh diri pada remaja berkaitan dengan tekanan keluarga, sekolah dan lingkungan sosial lainnya. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah ingin melihat kondisi keluarga pelaku bunuh diri anak dan remaja dan kaitan kondisi tersebut dalam proses terjadinya bunuh diri. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif dan deskriptif. Terarah pada individu yang telah melakukan bunuh diri dan kondisi keluarganya. Keterangan ini akan dikonstruksi untuk menemukan penjelasan tentang bagimana kondisi keluarga pelaku dan bagaimana kaitanya dengan perilaku bunuh diri.
Alat pengumpul data utama adalah obeservasi dan interviu. Observasi dilakukan untuk melihat kondisi rumah dan keluarga subjek. Interviu diajukan kepada significant person, seperti orang tuanya dan tetangganya, untuk menggali berbagai informasi mengenai keluarga dan subjek, Data-data juga diperoleh dari dokumen, hasil karya pelaku bunuh diri. Subjek yang masih bisa hidup (bisa diselamatkan), dilakukan interviu dan tes psikologi.
Pendekatan fenomenologis dipergunakan untuk memperoleh makna tersirat dan teoritik dari sejumlah data temuan. Model snow ball dipergunakan untuk memastikan telah diperoleh data yang cukup untuk diambil kesimpulan dan dipergunakan untuk keperluan atas sumber data berikutnya. Sampling penelitian ini menggunakan teknik purposive, yakni mempertimbangkan pilihan terhadap ciri-ciri pelaku bunuh diri dan lingkungan sosialnya. Sejumlah pelaku bunuh diri yang masih anak dan remaja yang diperkirakan memiliki karakteristik keluarga yang berbeda akan dipilih sebagai sampel. Ada kasus bunuh diri yang pelakunya masih hidup. Subjek ini menjadi pilihan pertama dan utama (Subjek A, laki-laki), karena diharapkan memperoleh sejumlah fakta dan data yang cukup banyak. Kemudian dicari subjek lain yang berjenis kelaimin perempuan dan umurnya lebih besar (SMA atau yang setingkat), maka diperoleh Subjek B. Subjek C dipilih karena usianya paling muda yaitu 13 tahun dan sedang duduk di kelas satu sebuah SMP. Di samping itu, subjek C tinggal dan bersekolah di suatu daerah yang jauh dari subjek A dan B, sehingga diperkirakan memiliki latar belakang sosial dan budaya yang berbeda. Sejumlah data temuan kemudian dinalisis secara teoritik dan logik untuk memperoleh kesimpulan sementara. Kemudian kesimpulan ini dipakai untuk acuan pengumpulan data berikutnya. Begitu seterusnya, sampai pada kesimpulan yang jika dicarikan datanya lagi sudah cocok.
Hasil Temuan dan Pembahasan:
1. Temuan SUBJEK A A adalah laki-laki berusia 15 tahun. Ia Melakukan percobaan bunuh diri namun gagal pada waktu kelas III SMP. Subjek merupakan anak sulung dari dua bersaudara, adiknya perempuan usia 9 tahun dan duduk di kelas III SD. A hidup bersama kakek dan neneknya sejak kecil, diasuh oleh ibunya yang tinggal bersama dengan kakek dan neneknya itu, tanpa memiliki kejelasan siapa ayah kandungnya. Subjek hidup bersama nenek dan kakek yang keduanya berusia 60 tahunan. Pendidikan yang diterapkan terhadap subjek (cucunya) cukup keras. A sering dimarahi dan diumpat dengan kata pedas seperti “minggat”. Ibu A sendiri merupakan anak tunggal dari kedua kakek-nenek tersebut. Ibu subjek berusia 35 tahunan dan sampai sekarang bersatatus tidak memiliki suami. Secara fisik berpenampilan sederhana, namun masih terlihat cantik. Pekerjaannya sekarang bertani, ikut membantu orangtuanya menggarap sawah. Sebelumnya ia pernah bekerja di kota sebagai pelayan warung makan. Bahkan pernah ke luar daerah dengan pekerjaan yang tidak diketahui.
Ibu subjek memiliki dua anak, tetapi siapa ayah kedua anaknya tidak diketahui, baik oleh tetangga maupun kakek dan neneknya. Hal ini sering menjadi pembicaraan tetangga. Ayah dari kedua anak itupun kemungkinan berbeda. Subjek dikandung oleh ibunya, setelah ia bekerja ke luar daerah, yang kemudian pulang dalam keadaan hamil dan melahirkan di rumah. Begitu juga adiknya, ibunya pulang dari bekerja di sebuah rumah makan di kota, pulang dalam keadaan hamil dan melahirkan di rumah juga. Subjek dan adiknya dibesarkan di kampung sampai sekarang. Hasil tes psikologi memperlihatkan bahwa subjek merasa lebih dekat figur ayah, daripada figur ibunya. Ia ingin selalu berlindung pada bapaknya, tetapi gambaran mengenai bapaknya kabur. Ibunya digambarkan sebagai sosok yang kurang terbuka, buruk dan memalukan. Subjek sadar bahwa perilaku buruk ibunya diketahui oleh masyarakat sekitarnya. SUBJEK B B adalah seorang perempuan yang pada waktu melakukan bunuh diri masih bersekolah di suatu SMK di ibukota propinsi, kelas I, berumur 16 tahun. B beragama Islam. Perawakannya sedang, dan kulitnya sawo matang. Subjek adalah anak sulung dan memilki seorang adik laki-laki yang sudah meninggal tiga bulan sebelum subjek bunuh diri. Sejak kecil B diasuh oleh ibunya bersama kakek dan neneknya, di sebuah desa di perbukitan jauh dari kota. Bapaknya bercerai dengan ibunya ketika ia masih berumur sekitar 7 tahun. Keberadaan bapaknya saat ini tidak diketahui secara pasti. Ibunya menikah lagi, sehingga subjek mempunyai ayah tiri. Sesudah pernikahan kedua ibunya, neneknya meninggal. Subjek hidup bersama ayah tiri, ibu, kakek dan adiknya, sampai 2 tahun yang lalu ketika ibunya meninggal dunia. Sejak saat itu subjek dibawa oleh ayah tirinya bersama dengan adiknya ke kota dan bersekolah di SMK kota tersebut. Kemudian di kota itu adik laki-lakinya meninggal tiga bulan, sebelum subjek bunuh diri.
Secara praktis lingkungan keluarga yang membentuk diri subjek adalah lingkungan kakek dan kemudian lingkungan pamannya. Usia kakek yang sudah mencapai 71 tahun, menyebabkan banyak urusan ditangani oleh pamannya. SUBJEK C Usia subjek pada saat melakukan bunuh diri 12 tahun; ia seorang anak laki-laki; berperawakan sedang; mukanya bagus; penampilan fisik normal (biasa); perilaku sehari-harinya biasa atau tidak ada yang aneh. C adalah anak pertama dari dua bersaudara, adiknya perempuan berusia delapan tahun; mereka hidup bersama nenek-kakeknya dari pihak ibu sejak kecil karena menjadi korban perceraian orangtuanya. Rumah tinggal C berada di perbukitan, kurang lebih lima kilometer dari jalan besar; masuk melalui sebuah jalan yang beraspal tetapi sudah rusak, kemudian masuk ke jalan yang lebih kecil lagi dan tidak beraspal. Rumahnya sederhana dengan dinding setengah tembok dan setengah anyaman bambu di atasnya; terletak di lereng sebuah bukit dan jarak rumah satu dengan lainnya agak berjauhan. Daerah sekitarnya tidak subur dengan banyak ditumbuhi pohon jati. Di dekat rumah ada kuburan orang terkenal dan sering dipakai untuk ziarah atau nenepi .
Subjek tinggal bersama seorang adik perempuan, kakek dan neneknya yang berusia 60 tahunan lebih. Tingkat sosial ekonomi mereka cukup rendah. Orangtuanya bercerai, ketika anak berusia delapan tahun dan adiknya berusia enam tahun, sejak itu ia tinggal bersama nenek dari ibunya.
Sekarang kedua orangtuanya tinggal bersama pasanganya masing-masing, namun biaya hidup dicukupi oleh kedua orangtuanya. Tetapi kedua orangtuanya jarang datang menengok ke rumah mereka. Semua urusan dilakukan oleh kakek dan neneknya, termasuk urusan sekolah. Nenek dan kakeknya terlihat agak keras dalam mendidik kedua cucunya itu. Mereka sedikit agak tidak peduli dan membiarkan. Meskipun demikian, hubungan dengan kedua cucunya, tidak ada masalah. 2. Pembahasan Munculnya masalah yang dihadapi oleh remaja bisa dipastikan oleh sebab-sebab yang bersifat eksternal yaitu lingkungan sosialnya. Bunuh diri misalnya, selalu ditimbulkan oleh kondisi ekstrim lingkungan hidup remaja pelaku bunuh diri (Clarke-Stewart, dan Koch, 1983). Bahkan lebih dijelaskan lagi oleh Clarke-Stewart dan Koch (1983) bahwa kasus bunuh diri pada remaja berkaitan dengan tekanan keluarga, sekolah dan lingkungan sosial lainnya. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa semua subjek selalu mendapatkan tekanan dari lingkungan sekitar, baik yang berasal dari sekolah dan kelompok atau dari lingkungan keluarga. Tekanan ini membuat subjek mencoba mengatasi dengan berbagai cara, di antaranya adalah melarikan diri dari lingkungannya. Subjek cenderung menjadi tertutup dan pendiam. Semua subjek dalam penelitian ini menunjukkan kecendeungan ini.
Penyebab dari depresi banyak berkaitan dengan kondisi keluarga (Kendall dan Hammen, 1998). Rupanya keluarga dapat menjadi peredam adanya depresi yang mungkin dialami oleh seseorang. Keluarga dijadikan pelindung emosional bagi seseorang. Karena depresi menjadi penyebab utama dari perilaku bunuh diri, maka pastilah ada sesuatu yang buruk dalam keluarga sehingga tidak mampu memberikan perlindungan emosional bagi anaknya. Akibatnya, anak akan merasa tidak memiliki pelindung yang memberi dukungan sosial pada saat menghadapi persoalan. Pola hubungan keluarga juga sangat menentukan munculnya kondisi tanpa perlindungan tersebut di atas. Oleh Coleman dkk (1986) pola keluarga itu disebut sebagai struktur keluarga yang cenderung menghasilkan anak yang kurang mampu menghadapi stres. . Para subjek dalam penelitian ini berasal dari keluarga yang tidak utuh. Subjek A adalah seorang yang tidak memiliki ayah yang jelas. Ia hidup hanya bersama ibu dan kakek-neneknya. Subjek B adalah wanita yang ditinggal ayahnya karena kasus perceraian, sehingga ia diasuh oleh kakek-neneknya. Subjek C hidup bersama kakek-neneknya, karena orang tuanya bercerai, dan mereka tinggal dengan keluarganya masing-masing setelah menikah dengan orang lain. Keluarga yang tidak utuh, disebut oleh Coleman dkk (1986) sebagai salah satu bentuk keluarga yang patogenik, bermasalah.
Dalam suatu keluarga ada sejumlah relasi interpersonal anak dan keluarganya, secara terus menerus akan menimbulkan individualitas, yakni suatu penegasan diri. Hal ini oleh Wibowo (2004) diperkirakan dapat memunculkan rasa percaya diri dan rasa mampu memformulasikan pendapatnya. Keluarga yang patogenik, sebaliknya tidak mampu menumbuhkan individualitas tersebut. Sehingga rasa percaya diri dan kemampuan berhubungan dengan orang menjadi rendah. Kondisi ini terlihat pada semua subjek yang menunjukkan rasa rendah diri dan bukanlah orang-orang yang memiliki peran dalam keluarga dan lingkungnnya. Semua kondisi keluarga yang demikian itu dialami para subjek sejak kecil. Disamping keluarga yang tidak utuh, juga semua subjek dalam asuhan nenek-kakeknya. Kondisi demikian merupakan kondisi yang tidak menguntungkan dalam pola asuh keluarga. Seseorang yang hidup bersama nenek-kakeknya cukup lama, akan cenderung dimanjakan (Baron dan Byrne, 1994). Anak yang dimanjakan akan terbiasa dengan pelayanan, sehingga akan kurang memiliki daya juang dan mudah putus asa. Clarke-Stewart dan Koch (1983) mengidentifikasi bahwa kasus bunuh diri pada remaja berkaitan dengan tekanan keluarga, sekolah dan lingkungan sosial lainnya. Secara umum, memang remaja lebih banyak menghadapi masalah sosial. Bagaimana remaja menghadapi penyesuaian dengan lingkungan sosial, perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat, menghadapi tekanan sosial dan tuntutan orang tua. Oleh karena itu, pelaku bunuh diri digambarkan sebagai seseorang yang sedang menghadapi persoalan degradasi status sosial dan masalah hubungan interpersonal (Perlman dan Cozby, 1983). Artinya remaja cenderung merasa kurang memperoleh tempat dalam lingkungan sosial, dan karena itu akan selalu berusaha memperoleh status sosial itu kembali. Pengakuan dari lingkungan sosial menjadi bagian yang sangat dicari oleh remaja.
Menjadi jelas kiranya, bahwa remaja sekarang memperoleh tekanan yang kuat dari berbagai lingkungan sosial. Lingkungan yang paling luas adalah industrialisasi yang kemudian menaikkan standar hidup dan standar pendidikan. Kondisi ini akan menekan lingkungan keluarga, dan langsung akan menekan kehidupan remaja (Parker dkk, 1990). Peran media massa elektronik yang sangat besar dalam kehidupan sekarang ini, membuat remaja harus memacu diri mengikuti standar hidup yang meninggi. Kegagalan untuk mengikuti irama hidup yang terus berubah ini, menyebabkan mereka merasa tidak mampu mengikutinya. Sementara dorongan keluarga yang diharapkan bisa memupus perasaan itu, justru ikut menekan remaja. Kondisi seperti itulah yang akan memunculkan mereka berusaha keras untuk mengatasinya. Kondisi tersebut nampak pada para subjek penelitian ini. Tekanan sosial ditunjukkan oleh kebingungan subjek B untuk menentukan siapa pacar yang akan dinikahi. Subjek B adalah anak sulung dan ditinggal mati ibunya, ditinggal pergi ayahnya, selanjutnya ditinggal mati ayah tirinya. Subjek A, mendapat tekanan dari sekolah dan lingkungan rumahnya, dari kakek-neneknya, sedangkan ia adalah anak sulung. Subjek A tidak memiliki ayah yang secara sosial pasti memberi tekanan kepadanya. Subjek C demikian juga, mendapat tekanan sosial karena dituduh mencuri oleh teman-teman dan pihak sekolahnya. Ketika subjek mengalami peristiwa seperti ini maka ia tidak dapat berlindung dari keluarganya, karena keluarga subjek tidak kokoh dan bahkan menjadi sumber tekanan.
Kesimpulan dan Saran
Depresi menjadi faktor penyebab utama bunuh diri yang bersifat internal. Depresi saja tidak cukup kuat untuk memunculkan perilaku bunuh diri pada anak dan remaja. Adanya kondisi eksternal yang buruk baru akan memicu perilaku bunuh diri. Faktor eksternal, berupa lingkungan yang berkaitan dengan bunuh diri adalah tekanan sosial yang cukup kuat disertai dengan kondisi keluarga yang tidak mampu mencairkan tekanan itu. Bahkan keluarga menjadi sumber tekanan bagi pelaku bunuh diri. Jika tekanan itu datang dari lingkungan sosial di luar keluarga, sedangkan kondisi keluarga tidak kokoh, maka tidak mampu memberikan perlindungan emosional. Keluarga berperan penting dalam perilaku bunuh diri anak dan remaja, melalui dua jalur. Pertama, kondisi keluarga yang buruk menyebabkan anak dan remaja mudah mengalami depresi. Kedua, keluarga merupakan benteng terakhir bagi anak dan remaja untuk menghadapi problem dan tekanan sosial. Dukungan keluarga yang cukup mampu menjadi pelindung menghadapi tekanan dan masalah yang dihadapinya. Ketika pelindung terakhir ini, yaitu keluarga tidak kuat, maka bunuh diri dianggap menjadi jalan keluar satu-satunya. Saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini :
1. Perlunya pembentukan keluarga yang lengkap, terutama pada masa kecil anak. Keluarga menjadi fondasi utama pencegahan terhadap kasus bunuh diri.
2. Keluarga sebaiknya diarahkan menjadi peredam dan pencair dari masalah yang dihadapi oleh anak dan remaja. Perlu dicegah, jangan sampai keluarga justru menjadi sumber tekanan terhadap anak.
http://eprints.uad.ac.id/90/1/Choirul_Anam_%28PERAN_KELUARGA_DALAM_KASUS_BUNUH_DIRI_ANAK_DAN_REMAJA%29.pdf
Bunuh diri pada remaja terjadi lagi menyusul contoh-contoh di atas, dalam waktu satu beberapa bulan terakhir tahun 2007 ini. Sebagai contoh, kasus bunuh diri siswa kelas 8 sebuah SMP di daerah Gunung Kidul (Radar Jogja, 24 Juni), dan kasus bunuh diri oleh siswa kelas 8 SMP di Boyolali (Radar Solo,26 Juni). Fenomena tersebut menunjukkan betapa sangat memprihatinkannya kasus ini, sehingga memerlukan penanganan yang bersungguh-sungguh, terutama upaya untuk mencegahnya. Penggambaran yang jelas bagaimana bunuh diri itu terjadi dan fakor-faktor yang ada di sekitar subjek, setidaknya akan memberi arah terhadap upaya-upaya yang tepat untuk mencegah terjadinya kasus serupa pada masa yang akan datang. Penelitian yang mendalam dari beberapa kasus bunuh diri, memungkinkan untuk menemukan kecenderungan-kecenderungan tertentu dari kasus bunuh diri. Kemudian pada akhirnya dapat ditemukan akar masalah yang sebenarnya dari sebab seseorang melakukan bunuh diri. Jika hanya dilihat dari surat yang ditinggalkan pelaku bunuh diri, atau persoalan yang memicu mereka melakukan bunuh diri, akan kelihatan sepele dan tidak masuk akal. Apa mungkin hanya karena uang ekstrakurikauler, seorang anak bunuh diri. Analisis yang mendalam, berarti tidak hanya melihat apa yang nampak bagi orang lain. Setidaknya tidak berhenti sampai di permukaan saja. Kajian-kajian yang selama ini ada, menyangkut sebab bunuh diri, tertuju pada adanya keputusasaan, kesedihan yang mendalam, atau secara lebih umum disebut depresi. Semua sebab tersebut mengarah pada kondisi psikologis pelaku bunuh diri, yakni mengurai secara subjektif faktor-faktor disposisional. Biasanya kemudian mengerucut pada sebab yang khusus yakni klinis dan sangat kasuistik. Maris (Kendall dan Hemman, 1998) mengemukakan beberapa faktor risiko bunuh diri berasal dari kondisi keluarga yang tidak baik. Terlebih, jika bunuh diri dilakukan oleh anak dan remaja. Kondisi psikologis anak dan remaja banyak tergantung pada kondisi keluarga yang memberikan pola pendidikan anak sejak masih kecil. Kondisi keluarga yang bagaimanakah yang ada dalam kasus bunuh diri yang pelakunya adalah anak dan remaja ?
Kajian Teori Secara umum seseorang dapat melakukan perbuatan nekat, karena takut, cemas atau sedih. Takut, cemas, atau sedih merupakan satu golongan: emosi negatif. Semuanya menjadi beban dan tidak menyenangkan bagi yang mengalaminya. Oleh karena itu orang dengan mudah merubahnya (takut menjadi depresi, cemas menjadi menjadi sedih) untuk mempertahan diri. Semua kondisi negatif itu merupakan tanda bahaya, adanya ancaman. Kondisi negatif terutama takut dan cemas, membuat orang yang mengalaminya menjadi sadar adanya tantangan bagi dirinya, sehingga kemudian mengembangkan kewaspadaan dan bersiap untuk bereaksi. Takut lebih kepada tantangan fisik, sedangkan cemas lebih kepada tantangan psikologis (Albin, 1987). Takut dan cemas memotivasi munculnya reaksi aktif untuk melawan atau lari. Takut dan cemas memunculkan upaya untuk mengintegrasikan diri menghadapi sumber-sumber ketakutan dan kecemasan. Jika persiapan ini tidak cukup, maka orang akan mencoba menghadapi dengan cara lain. Manifestasinya dapat berupa reaksi fisik, seperti sakit fisik, atau perilaku-perilaku aktif, seperti kesibukan atau keasikan tertentu, untuk mengurangi kecemasan dan katakutan itu. Aktivitas-aktivitas seperti merokok, “ngemil”, minum alkohol, merupakan perwujudan dari takut dan cemas tersebut.
Jika upaya tersebut belum dirasa berhasil, maka orang kemudian menyerah dan putus asa. Di sinilah orang mulai merubah kecemasan dan ketakutan menjadi depresi. Sesungguhnya depresi merupakan kondisi lebih menyeluruh dibandingkan dengan sekedar sedih dan kemurungan, tetapi juga menyangkut gangguan dalam berfikir dan sikap terhadap diri dan lingkungan (Albin, 1987). Oleh karena itu, depresi dianggap sebagai sebab bunuh diri yang paling dapat diterima dibandingkan dengan takut atau kecemasan. Depresi merupakan upaya subjektif terakhir yang dapat dilakukan oleh seseorang setelah ketakutan dan kecemasan. Depresi sering diartikan sebagai suatu gangguan psikis yang mempengaruhi fungsi-fungsi fisik, psikologis dan sosial dari seseorang (Culbertson, 1997). Oleh karena itu, Beck (1987) berpendapat bahwa depresi merupakan gangguan pikiran dari pada gangguan perasaan. Ini berbeda dengan ketakutan dan kecemasan yang lebih kepada masalah emosional. Ketika orang mengalami depresi, tidak lagi terasa adanya rasa takut dan cemas. Depresi dengan demikian dipakai sebagai cara menghadapi ketakutan dan kecemasan. Orang tidak mungkin cemas atau takut, ketika dia depresi. Begitu sebaliknya, orang tidak mungkin depresi, ketika ia takut dan cemas.
Pada kondisi yang normal, orang lebih berani secara rasional mengatakan dirinya depresi, daripada mengatakan dirinya bahagia (Baron dan Byrne, 1994). Seseorang merasa sudah aman dan enak, dalam kondisi depresi. Dengan sedikit pemicu sosial, misalnya kesendirian, orang mudah jatuh dalam kondisi depresi (Baron dan Byrne, 1994). Sehingga secara sosial pun, sebenarnya depresi lebih bisa dipakai sebagai penutup dari pengamatan orang lain sehingga sulit diketahui oleh orang lain di sekitarnya. Orang bisa lebih sembunyi dari pantauan orang lain. Kebanyakan, kalau tidak bisa disebut semuanya, pelaku bunuh diri tidak menyampaikan rencana bunuh diri kepada orang lain. Depresi lebih cenderung dalam perilaku tertutup, diam dan pasif. Orang depresi cenderung menutup diri dari lingkungan sosialnya. Orang-orang yang depresi memiliki kesulitan dalam hubungan sosial, berkomunikasi dengan orang lain, karena mereka memiliki pikiran-pikiran negatif terhadap orang lain (Blumberg dan Hokanson,1983). Inilah penyebab tindakan bunuh diri itu sulit diduga sebelumnya, sekalipun oleh orang-orang dekatnya. Hubungan sosialnya merasa terputus, termasuk orang-orang dekat sahabat atau keluarganya. Orang yang depresi seringan apapun, akan merasa tidak berdaya menghadapi tekanan lingkungan (eksternal). Dunia dan kehidupan ini semuanya bagaikan ancaman yang tidak bisa dihadapi, bagi orang yang depresi. Orang yang mengalami depresi akan berkeyakinan bahwa sudah tidak ada jalan bagi dirinya untuk dapat mengatasi masalah yang dihadapinya. Keluarga dan orang-orang dekat menjadi tumpuan utama bagi penyelesaian. Apalagi jika terjadi pada anak dan remaja yang sedang mengalami perkembangan fisik dan kognitif.
Kemasakan fisik dan kognitif pada anak dan remaja, akan memicu terjadinya perkembangan pada aspek-aspek lain. Hal Ini membutuhkan kesempatan dalam hubungan sosial. Oleh karena itu problem yang dihadapi oleh mereka adalah pengujian diri dalam interaksi dengan lingkungan sosial. Sebuah proses untuk penegasan diri atas kedewasaanya dalam kancah lingkungan sosialnya. Munculnya masalah yang dihadapi oleh remaja bisa dipastikan oleh sebab-sebab yang bersifat eksternal, yaitu lingkungan sosialnya. Bunuh diri misalnya, selalu ditimbulkan oleh kondisi ekstrim lingkungan hidup remaja pelaku bunuh diri (Clarke-Stewart, and Koch, 1983). Selanjutnya Clarke-Stewart dan Koch (1983) mengidentifikasi bahwa kasus bunuh diri pada remaja berkaitan dengan tekanan keluarga, sekolah dan lingkungan sosial lainnya. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah ingin melihat kondisi keluarga pelaku bunuh diri anak dan remaja dan kaitan kondisi tersebut dalam proses terjadinya bunuh diri. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif dan deskriptif. Terarah pada individu yang telah melakukan bunuh diri dan kondisi keluarganya. Keterangan ini akan dikonstruksi untuk menemukan penjelasan tentang bagimana kondisi keluarga pelaku dan bagaimana kaitanya dengan perilaku bunuh diri.
Alat pengumpul data utama adalah obeservasi dan interviu. Observasi dilakukan untuk melihat kondisi rumah dan keluarga subjek. Interviu diajukan kepada significant person, seperti orang tuanya dan tetangganya, untuk menggali berbagai informasi mengenai keluarga dan subjek, Data-data juga diperoleh dari dokumen, hasil karya pelaku bunuh diri. Subjek yang masih bisa hidup (bisa diselamatkan), dilakukan interviu dan tes psikologi.
Pendekatan fenomenologis dipergunakan untuk memperoleh makna tersirat dan teoritik dari sejumlah data temuan. Model snow ball dipergunakan untuk memastikan telah diperoleh data yang cukup untuk diambil kesimpulan dan dipergunakan untuk keperluan atas sumber data berikutnya. Sampling penelitian ini menggunakan teknik purposive, yakni mempertimbangkan pilihan terhadap ciri-ciri pelaku bunuh diri dan lingkungan sosialnya. Sejumlah pelaku bunuh diri yang masih anak dan remaja yang diperkirakan memiliki karakteristik keluarga yang berbeda akan dipilih sebagai sampel. Ada kasus bunuh diri yang pelakunya masih hidup. Subjek ini menjadi pilihan pertama dan utama (Subjek A, laki-laki), karena diharapkan memperoleh sejumlah fakta dan data yang cukup banyak. Kemudian dicari subjek lain yang berjenis kelaimin perempuan dan umurnya lebih besar (SMA atau yang setingkat), maka diperoleh Subjek B. Subjek C dipilih karena usianya paling muda yaitu 13 tahun dan sedang duduk di kelas satu sebuah SMP. Di samping itu, subjek C tinggal dan bersekolah di suatu daerah yang jauh dari subjek A dan B, sehingga diperkirakan memiliki latar belakang sosial dan budaya yang berbeda. Sejumlah data temuan kemudian dinalisis secara teoritik dan logik untuk memperoleh kesimpulan sementara. Kemudian kesimpulan ini dipakai untuk acuan pengumpulan data berikutnya. Begitu seterusnya, sampai pada kesimpulan yang jika dicarikan datanya lagi sudah cocok.
Hasil Temuan dan Pembahasan:
1. Temuan SUBJEK A A adalah laki-laki berusia 15 tahun. Ia Melakukan percobaan bunuh diri namun gagal pada waktu kelas III SMP. Subjek merupakan anak sulung dari dua bersaudara, adiknya perempuan usia 9 tahun dan duduk di kelas III SD. A hidup bersama kakek dan neneknya sejak kecil, diasuh oleh ibunya yang tinggal bersama dengan kakek dan neneknya itu, tanpa memiliki kejelasan siapa ayah kandungnya. Subjek hidup bersama nenek dan kakek yang keduanya berusia 60 tahunan. Pendidikan yang diterapkan terhadap subjek (cucunya) cukup keras. A sering dimarahi dan diumpat dengan kata pedas seperti “minggat”. Ibu A sendiri merupakan anak tunggal dari kedua kakek-nenek tersebut. Ibu subjek berusia 35 tahunan dan sampai sekarang bersatatus tidak memiliki suami. Secara fisik berpenampilan sederhana, namun masih terlihat cantik. Pekerjaannya sekarang bertani, ikut membantu orangtuanya menggarap sawah. Sebelumnya ia pernah bekerja di kota sebagai pelayan warung makan. Bahkan pernah ke luar daerah dengan pekerjaan yang tidak diketahui.
Ibu subjek memiliki dua anak, tetapi siapa ayah kedua anaknya tidak diketahui, baik oleh tetangga maupun kakek dan neneknya. Hal ini sering menjadi pembicaraan tetangga. Ayah dari kedua anak itupun kemungkinan berbeda. Subjek dikandung oleh ibunya, setelah ia bekerja ke luar daerah, yang kemudian pulang dalam keadaan hamil dan melahirkan di rumah. Begitu juga adiknya, ibunya pulang dari bekerja di sebuah rumah makan di kota, pulang dalam keadaan hamil dan melahirkan di rumah juga. Subjek dan adiknya dibesarkan di kampung sampai sekarang. Hasil tes psikologi memperlihatkan bahwa subjek merasa lebih dekat figur ayah, daripada figur ibunya. Ia ingin selalu berlindung pada bapaknya, tetapi gambaran mengenai bapaknya kabur. Ibunya digambarkan sebagai sosok yang kurang terbuka, buruk dan memalukan. Subjek sadar bahwa perilaku buruk ibunya diketahui oleh masyarakat sekitarnya. SUBJEK B B adalah seorang perempuan yang pada waktu melakukan bunuh diri masih bersekolah di suatu SMK di ibukota propinsi, kelas I, berumur 16 tahun. B beragama Islam. Perawakannya sedang, dan kulitnya sawo matang. Subjek adalah anak sulung dan memilki seorang adik laki-laki yang sudah meninggal tiga bulan sebelum subjek bunuh diri. Sejak kecil B diasuh oleh ibunya bersama kakek dan neneknya, di sebuah desa di perbukitan jauh dari kota. Bapaknya bercerai dengan ibunya ketika ia masih berumur sekitar 7 tahun. Keberadaan bapaknya saat ini tidak diketahui secara pasti. Ibunya menikah lagi, sehingga subjek mempunyai ayah tiri. Sesudah pernikahan kedua ibunya, neneknya meninggal. Subjek hidup bersama ayah tiri, ibu, kakek dan adiknya, sampai 2 tahun yang lalu ketika ibunya meninggal dunia. Sejak saat itu subjek dibawa oleh ayah tirinya bersama dengan adiknya ke kota dan bersekolah di SMK kota tersebut. Kemudian di kota itu adik laki-lakinya meninggal tiga bulan, sebelum subjek bunuh diri.
Secara praktis lingkungan keluarga yang membentuk diri subjek adalah lingkungan kakek dan kemudian lingkungan pamannya. Usia kakek yang sudah mencapai 71 tahun, menyebabkan banyak urusan ditangani oleh pamannya. SUBJEK C Usia subjek pada saat melakukan bunuh diri 12 tahun; ia seorang anak laki-laki; berperawakan sedang; mukanya bagus; penampilan fisik normal (biasa); perilaku sehari-harinya biasa atau tidak ada yang aneh. C adalah anak pertama dari dua bersaudara, adiknya perempuan berusia delapan tahun; mereka hidup bersama nenek-kakeknya dari pihak ibu sejak kecil karena menjadi korban perceraian orangtuanya. Rumah tinggal C berada di perbukitan, kurang lebih lima kilometer dari jalan besar; masuk melalui sebuah jalan yang beraspal tetapi sudah rusak, kemudian masuk ke jalan yang lebih kecil lagi dan tidak beraspal. Rumahnya sederhana dengan dinding setengah tembok dan setengah anyaman bambu di atasnya; terletak di lereng sebuah bukit dan jarak rumah satu dengan lainnya agak berjauhan. Daerah sekitarnya tidak subur dengan banyak ditumbuhi pohon jati. Di dekat rumah ada kuburan orang terkenal dan sering dipakai untuk ziarah atau nenepi .
Subjek tinggal bersama seorang adik perempuan, kakek dan neneknya yang berusia 60 tahunan lebih. Tingkat sosial ekonomi mereka cukup rendah. Orangtuanya bercerai, ketika anak berusia delapan tahun dan adiknya berusia enam tahun, sejak itu ia tinggal bersama nenek dari ibunya.
Sekarang kedua orangtuanya tinggal bersama pasanganya masing-masing, namun biaya hidup dicukupi oleh kedua orangtuanya. Tetapi kedua orangtuanya jarang datang menengok ke rumah mereka. Semua urusan dilakukan oleh kakek dan neneknya, termasuk urusan sekolah. Nenek dan kakeknya terlihat agak keras dalam mendidik kedua cucunya itu. Mereka sedikit agak tidak peduli dan membiarkan. Meskipun demikian, hubungan dengan kedua cucunya, tidak ada masalah. 2. Pembahasan Munculnya masalah yang dihadapi oleh remaja bisa dipastikan oleh sebab-sebab yang bersifat eksternal yaitu lingkungan sosialnya. Bunuh diri misalnya, selalu ditimbulkan oleh kondisi ekstrim lingkungan hidup remaja pelaku bunuh diri (Clarke-Stewart, dan Koch, 1983). Bahkan lebih dijelaskan lagi oleh Clarke-Stewart dan Koch (1983) bahwa kasus bunuh diri pada remaja berkaitan dengan tekanan keluarga, sekolah dan lingkungan sosial lainnya. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa semua subjek selalu mendapatkan tekanan dari lingkungan sekitar, baik yang berasal dari sekolah dan kelompok atau dari lingkungan keluarga. Tekanan ini membuat subjek mencoba mengatasi dengan berbagai cara, di antaranya adalah melarikan diri dari lingkungannya. Subjek cenderung menjadi tertutup dan pendiam. Semua subjek dalam penelitian ini menunjukkan kecendeungan ini.
Penyebab dari depresi banyak berkaitan dengan kondisi keluarga (Kendall dan Hammen, 1998). Rupanya keluarga dapat menjadi peredam adanya depresi yang mungkin dialami oleh seseorang. Keluarga dijadikan pelindung emosional bagi seseorang. Karena depresi menjadi penyebab utama dari perilaku bunuh diri, maka pastilah ada sesuatu yang buruk dalam keluarga sehingga tidak mampu memberikan perlindungan emosional bagi anaknya. Akibatnya, anak akan merasa tidak memiliki pelindung yang memberi dukungan sosial pada saat menghadapi persoalan. Pola hubungan keluarga juga sangat menentukan munculnya kondisi tanpa perlindungan tersebut di atas. Oleh Coleman dkk (1986) pola keluarga itu disebut sebagai struktur keluarga yang cenderung menghasilkan anak yang kurang mampu menghadapi stres. . Para subjek dalam penelitian ini berasal dari keluarga yang tidak utuh. Subjek A adalah seorang yang tidak memiliki ayah yang jelas. Ia hidup hanya bersama ibu dan kakek-neneknya. Subjek B adalah wanita yang ditinggal ayahnya karena kasus perceraian, sehingga ia diasuh oleh kakek-neneknya. Subjek C hidup bersama kakek-neneknya, karena orang tuanya bercerai, dan mereka tinggal dengan keluarganya masing-masing setelah menikah dengan orang lain. Keluarga yang tidak utuh, disebut oleh Coleman dkk (1986) sebagai salah satu bentuk keluarga yang patogenik, bermasalah.
Dalam suatu keluarga ada sejumlah relasi interpersonal anak dan keluarganya, secara terus menerus akan menimbulkan individualitas, yakni suatu penegasan diri. Hal ini oleh Wibowo (2004) diperkirakan dapat memunculkan rasa percaya diri dan rasa mampu memformulasikan pendapatnya. Keluarga yang patogenik, sebaliknya tidak mampu menumbuhkan individualitas tersebut. Sehingga rasa percaya diri dan kemampuan berhubungan dengan orang menjadi rendah. Kondisi ini terlihat pada semua subjek yang menunjukkan rasa rendah diri dan bukanlah orang-orang yang memiliki peran dalam keluarga dan lingkungnnya. Semua kondisi keluarga yang demikian itu dialami para subjek sejak kecil. Disamping keluarga yang tidak utuh, juga semua subjek dalam asuhan nenek-kakeknya. Kondisi demikian merupakan kondisi yang tidak menguntungkan dalam pola asuh keluarga. Seseorang yang hidup bersama nenek-kakeknya cukup lama, akan cenderung dimanjakan (Baron dan Byrne, 1994). Anak yang dimanjakan akan terbiasa dengan pelayanan, sehingga akan kurang memiliki daya juang dan mudah putus asa. Clarke-Stewart dan Koch (1983) mengidentifikasi bahwa kasus bunuh diri pada remaja berkaitan dengan tekanan keluarga, sekolah dan lingkungan sosial lainnya. Secara umum, memang remaja lebih banyak menghadapi masalah sosial. Bagaimana remaja menghadapi penyesuaian dengan lingkungan sosial, perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat, menghadapi tekanan sosial dan tuntutan orang tua. Oleh karena itu, pelaku bunuh diri digambarkan sebagai seseorang yang sedang menghadapi persoalan degradasi status sosial dan masalah hubungan interpersonal (Perlman dan Cozby, 1983). Artinya remaja cenderung merasa kurang memperoleh tempat dalam lingkungan sosial, dan karena itu akan selalu berusaha memperoleh status sosial itu kembali. Pengakuan dari lingkungan sosial menjadi bagian yang sangat dicari oleh remaja.
Menjadi jelas kiranya, bahwa remaja sekarang memperoleh tekanan yang kuat dari berbagai lingkungan sosial. Lingkungan yang paling luas adalah industrialisasi yang kemudian menaikkan standar hidup dan standar pendidikan. Kondisi ini akan menekan lingkungan keluarga, dan langsung akan menekan kehidupan remaja (Parker dkk, 1990). Peran media massa elektronik yang sangat besar dalam kehidupan sekarang ini, membuat remaja harus memacu diri mengikuti standar hidup yang meninggi. Kegagalan untuk mengikuti irama hidup yang terus berubah ini, menyebabkan mereka merasa tidak mampu mengikutinya. Sementara dorongan keluarga yang diharapkan bisa memupus perasaan itu, justru ikut menekan remaja. Kondisi seperti itulah yang akan memunculkan mereka berusaha keras untuk mengatasinya. Kondisi tersebut nampak pada para subjek penelitian ini. Tekanan sosial ditunjukkan oleh kebingungan subjek B untuk menentukan siapa pacar yang akan dinikahi. Subjek B adalah anak sulung dan ditinggal mati ibunya, ditinggal pergi ayahnya, selanjutnya ditinggal mati ayah tirinya. Subjek A, mendapat tekanan dari sekolah dan lingkungan rumahnya, dari kakek-neneknya, sedangkan ia adalah anak sulung. Subjek A tidak memiliki ayah yang secara sosial pasti memberi tekanan kepadanya. Subjek C demikian juga, mendapat tekanan sosial karena dituduh mencuri oleh teman-teman dan pihak sekolahnya. Ketika subjek mengalami peristiwa seperti ini maka ia tidak dapat berlindung dari keluarganya, karena keluarga subjek tidak kokoh dan bahkan menjadi sumber tekanan.
Kesimpulan dan Saran
Depresi menjadi faktor penyebab utama bunuh diri yang bersifat internal. Depresi saja tidak cukup kuat untuk memunculkan perilaku bunuh diri pada anak dan remaja. Adanya kondisi eksternal yang buruk baru akan memicu perilaku bunuh diri. Faktor eksternal, berupa lingkungan yang berkaitan dengan bunuh diri adalah tekanan sosial yang cukup kuat disertai dengan kondisi keluarga yang tidak mampu mencairkan tekanan itu. Bahkan keluarga menjadi sumber tekanan bagi pelaku bunuh diri. Jika tekanan itu datang dari lingkungan sosial di luar keluarga, sedangkan kondisi keluarga tidak kokoh, maka tidak mampu memberikan perlindungan emosional. Keluarga berperan penting dalam perilaku bunuh diri anak dan remaja, melalui dua jalur. Pertama, kondisi keluarga yang buruk menyebabkan anak dan remaja mudah mengalami depresi. Kedua, keluarga merupakan benteng terakhir bagi anak dan remaja untuk menghadapi problem dan tekanan sosial. Dukungan keluarga yang cukup mampu menjadi pelindung menghadapi tekanan dan masalah yang dihadapinya. Ketika pelindung terakhir ini, yaitu keluarga tidak kuat, maka bunuh diri dianggap menjadi jalan keluar satu-satunya. Saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini :
1. Perlunya pembentukan keluarga yang lengkap, terutama pada masa kecil anak. Keluarga menjadi fondasi utama pencegahan terhadap kasus bunuh diri.
2. Keluarga sebaiknya diarahkan menjadi peredam dan pencair dari masalah yang dihadapi oleh anak dan remaja. Perlu dicegah, jangan sampai keluarga justru menjadi sumber tekanan terhadap anak.
http://eprints.uad.ac.id/90/1/Choirul_Anam_%28PERAN_KELUARGA_DALAM_KASUS_BUNUH_DIRI_ANAK_DAN_REMAJA%29.pdf